Senin, 28 November 2011

Selalu ada harapan untuk Raphael (2)

Saya memiliki kemampuan logika yang cukup kuat, baik pada saat masih duduk di bangku sekolah maupun di dunia kerja, kemampuan logika saya bisa dibilang di atas rata-rata. Dan dengan segala kerendahan hati, saya selalu bangga dengan kelebihan saya ini. Namun Raphael membuka suatu wawasan baru dalam logika saya, yang jauh lebih berharga dari sekedar operasi bilangan. Bayi mungil yang belum genap sepuluh bulan ini, mengajari saya mengenai arti memberi dan menerima, yang mana tidak bisa dihitung dengan rumus matematika.

Biaya pengobatan untuk Raphael terbilang luar biasa besar. Bayi mungil itu harus melalui berbagai proses yang memerlukan peralatan ataupun obat-obatan khusus untuk membantu penyembuhannya karena jenis penyakitnya yang termasuk langka. Bahkan di Jakarta, dia harus mondar mandir dari Rumah Sakit A ke Rumah Sakit B karena peralatan yang dibutuhkan ada di dua tempat yang berbeda. Dari cerita ayahnya saya juga mendengar bahwa si kecil pernah diberikan suatu suntikan yang mengandung bahan radiasi, sehingga kita pun tidak boleh terkena air kencingnya pada saat dia menjalani terapi tersebut. Ini jauh di luar logika saya, di tubuh bayi mungil itu dengan sengaja dimasukkan suatu zat yang bahkan orang lain tidak boleh terkena. Di wajah yang menggemaskan itu kadang bisa keluar bercak-bercak merah karena alergi terhadap obat anti biotik yang harus dia konsumsi untuk dapat bertahan.

Pengobatan Raphael masih terus berlanjut, bahkan Dokter pun tidak berani memberikan kepastian tindakan apa yang bisa dilakukan untuk menjamin kesembuhan si pangeran kecil secara tuntas. Tindakan terakhir yang dilakukan dengan membenahi katup yang ada di ureter adalah untuk mencegah peradangan lebih lanjut, sehingga kerja ginjal tidak terlalu berat. Sebelumnya diduga bahwa air kencing yang harusnya dikeluarkan, justru kembali masuk ke ginjal dikarenkan katup yang menutup tidak sempurna. Di dalam tubuhnya sudah terasang sekian banyak benda asing, untuk membantu fungsi kerja ginjal yang tidak optimal. Dana yang keluar pun terus mengalir, tanpa memberikan jaminan kapan akan berakhir. Tapi haruskah kita berhenti berjuang untuk kesembuhannya? Setiap senyum dan celotehnya, selalu menghadirkan harapan di tengah keterhimpitan dan ketidakpastian.

Di saat kekuatan kita sebagai manusia sudah tak lagi mampu menentukan langkah, Tuhan tidak pernah gagal memberikan jalan. Di dunia yang katanya semakin kejam dan materialistis, masih banyak pribadi-pribadi yang mempunyai simpati dan tulus berbagi untuk orang lain. Ibu Raphael pernah bercerita kepada saya, betapa banyak bantuan yang dia terima baik dari segi materi maupun non materi, bahkan dari orang-orang yang tidak pernah dia kenal sebelumnya. Dia pernah mengungkapkan isi hatinya, bahwa sebenarnya dia merasa tidak pantas menerima bantuan, karena masih banyak orang yang lebih membutuhkan bantuan tersebut. Saya bisa mengerti cara berpikirnya, dan selama masih mampu memang ada baiknya manusia berjuang dengan kekuatannya. Namun pada titik tertentu, kita harus mengakui bahwa kekuatan kita ada batasnya. Hidup itu bukan hanya belajar memberi, namun juga belajar menerima berkat dengan tulus dan rendah hati.

Memberi lebih baik daripada menerima, mungkin bisa jadi pepatah yang bijak, karena di dalamnya terkandung rasa syukur bahwa kita memiliki sesuatu sehingga pantas bagi kita untuk membagikannya juga kepada sesama. Namun di sisi lain, menerima bukanlah suatu kelemahan, menerima tidak harus diartikan sebagai suatu tindakan pasif didasarkan ketergantungan terhadap orang lain tanpa mau berusaha. Menerima dengan tulus adalah suatu bentuk kerendahan hati bahwa kita juga memerlukan orang lain sebagai saluran kasih dari Sang Pencipta.

Saya sering kecewa ketika saya menawarkan suatu jasa, namun orang tidak bisa menerima tawaran saya tersebut. Saya tidak tahu alasan mereka tidak menerimanya, apakah jasa tersebut tidak dibutuhkan atau karena mereka tidak mau berhutang budi kepada saya. Dari kekecewaan itu saya belajar, bahwa dengan menerima kebaikan orang lain, kita menghargai kebaikan itu, kita belajar untuk menghayati bahwa kita tidak bisa hidup tanpa kehadiran orang lain yang ikut mewarnai kehidupan kita. Dengan menerima kebaikan hati orang lain, berarti juga kita memberikan kesempatan kepada orang lain untuk merasakan suka cita karena hati mereka dimampukan untuk berbagi.

Indah bukan, kehadiran Raphael memberikan kesempatan pribadi-pribadi di sekitar dia untuk belajar arti memberi dan menerima. Raphael membuka mata saya, bahwa di tengah kehausan dunia akan materi, masih banyak sekali hati yang indah, hati yang mau memberikan kasih, doa dan harapan untuk seorang bayi kecil.

Saat melihat saat Raphael terbangun dari tidurnya, ada senyum kecil di bibir mungilnya. Senyum untuk semua doa dan harapan yang terangkai indah dan menemani setiap langkah kecilnya.

Selasa, 08 November 2011

Selalu ada harapan untuk Raphael

Raphael divonis menderita congenital hydronefrosis kidney + ureter sejak masih usia 8 bulan dalam kandungan. Saya tidak mengerti dengan jelas artinya, yang saya tahu adalah kedua ginjal Raphael tidak berfungsi secara normal. Bahkan Dokter pun bilang bahwa Raphael mungkin tidak bisa bertahan hidup cukup lama. Penyakit ini bisa dikategorikan penyakit langka dan belum ada kepastian untuk proses penyembuhannya. Sudah beberapa kali operasi dilakukan di Singapura dan Jakarta untuk memperbaiki kondisi ginjalnya, belum lagi pengobatan yang berulang kali harus dijalani untuk membantu Raphael bertahan. Tulisan ini dibuat bukan untuk mengupas dari sisi medis, karena saya bukan seorang dokter dan sama sekali tidak mengerti mengenai dunia medis, istilah-istilah medis yang sering kali terdengar pun terasa janggal buat saya. Tetapi melalui tulisan ini saya ingin berbagi mengenai harapan, mengenai kasih dan mengenai arti hidup yang saya dapat dari seorang anak bernama Raphael.

Saya baru mengenal Raphael, ketika malaikat kecil ini berusia sekitar 5 bulan. Ketika orang tuanya menceritakan bahwa si kecil memiliki kelainan ginjal, dan sudah menjalani operasi di Singapura. Waktu itu kulitnya masih agak kehitaman, meskipun tidak menunjukkan seorang bayi yang memiliki komplikasi penyakit dalam. Saat itu, bahkan untuk menggendongnya saja saya tidak berani, karena takut melukai bayi mungil ini. Bersama beberapa teman yang sering berkumpul untuk kegiatan rohani, yang bisa kami lakukan adalah berdoa agar Raphael diberikan kesembuhan dari penyakitnya dan orang tuanya diberikan kekuatan untuk tetap tegar mendampingi.

Seiring berjalannya waktu, saya pun semakin dekat dengan Raphael dan keluarganya. Keluarga muda yang mencoba bertahan dalam harapan untuk sebuah mujizat bagi si kecil. Kenapa saya bilang mujizat, karena setiap kali mendengar penjelasan dari Dokter, pikiran saya sebagai manusia selalu berkata, apakah bisa si kecil bertahan dengan kondisi seperti itu. Meskipun awam dengan dunia kedokteran, saya yakin semua orang pasti bisa membayangkan betapa kecil kemungkinan Raphael untuk bertahan. Ginjal bayi kecil itu tidak sesuai dengan ukuran semestinya karena mengalami pembengkakan, sehingga tidak bisa berfungsi normal, hanya di bawah 50%, dan kondisi itu ada di kedua ginjalnya, bukan salah satu. Bahkan ginjal sebelah kiri sudah dalam kondisi kritis yang kemungkinan harus diangkat.

Beberapa kali saya mendengar dia terserang bakteri dan harus dibawa ke Rumah Sakit. Dan saya sering mendengar bahwa si Ibu harus berangkat ke Singapura sendiri untuk pengobatan si kecil, sedangkan si ayah harus di Jakarta karena tanggung jawab pekerjaan dan menjaga putra pertama mereka yang berumur 5 tahun. Mereka bukan keluarga super kaya yang bisa dengan mudah membiayai pengobatan di negara tetangga yang tentunya tidak murah.

Pernah suatu kali saya menemani sang Ibu untuk berbicara dengan tetangga kami, seorang Dokter yang sedang mengambil spesialisasi penyakit dalam. Ibu muda ini begitu hafal dengan istilah-istilah kedokteran yang semuanya terasa asing di telinga saya. Dia sanggup menjawab pertanyaan si Dokter mengenai semua jenis antibiotic dan tindakan yang pernah dilakukan untuk Raphael. Hati saya ikut sedih, ketika wanita yang usianya jauh lebih muda dari saya ini, menanyakan berapa besar kemungkinan bayi kecilnya bertahan hidup. Saya melihat Dokter itu hanya tersenyum dan bilang dia tidak bisa memberikan jawaban berapa lama umur seseorang, karena itu kehendak dari Sang Pencipta. Ibu ini tidak menangis, dia hanya terdiam sebentar, dan beberapa saat kemudian pun dia sibuk lagi dengan segudang pertanyaan mengenai kemungkinan-kemungkinan untuk menyelamatkan si kecil. Suatu anugerah bahwa Raphael dilahirkan dari seorang Ibu yang kuat, seorang Ibu yang tetap bisa tertawa di tengah keterhimpitan masalah yang dihadapinya, seorang Ibu yang berani tetap berharap di saat semua ilmu kedokteran tidak mampu memberikan solusi yang tegas untuk masa depan buah hatinya.

Dua tahun lalu, ayah saya menderita penyakit kanker hati dan divonis tidak ada harapan oleh Dokter, dan kemudian diketahui bahwa kanker itu sudah menyebar ke paru dan organ lainnya. Saat itu saya mengalami depresi yang luar biasa. Di satu sisi saya tidak rela kehilangan ayah saya oleh penyakit apapun namanya, di sisi lain saya berpacu dengan dana yang terus mengalir untuk pengobatan yang tak tahu bermuara kemana. Bahkan beberapa keluarga sudah menyarankan saya untuk menghentikan pengobatan dan merelakan ayah saya “pergi”. Saya sangat menyayangi ayah saya, itu tidak perlu diragukan, dan saya ingin beliau ada di setiap saat bahagia saya, itu juga sudah pasti, namun di hati terdalam, saya sudah merelakan beliau pergi tanpa harus lebih lama tersiksa oleh penyakitnya. Dan setiap berada di samping beliau pada saat-saat terakhirnya, saya selalu berbisik bahwa beliau boleh pergi tanpa perlu mengkuatirkan saya ataupun anggota keluarga yang lain. Semasa hidup beliau selalu berharap bahwa beliau boleh meninggalkan dunia fana sebelum menjadi beban untuk anak istri beliau. Setelah 24 hari dirawat di rumah sakit, akhirnya beliau pergi meninggalkan kami, sesuai dengan harapannya. Kehilangan terbesar saya di awal tahun 2010, sosok pahlawan tak sempurna yang mengabdikan hidup untuk anak-anaknya. Ayah saya pergi setelah beliau merasa sudah menunaikan tugasnya, kepergian yang meninggalkan kenangan indah.

Berkaca pada tekanan yang saya rasakan ketika ayah saya sakit, saya melihat kekuatan luar biasa yang dipancarkan seorang Ibu muda untuk sebuah harapan. Waktu itu pun, semua orang termasuk saya, bisa dengan ringan mengatakan tugas ayah saya sudah selesai, silahkan berangkat lebih dahulu, nanti kita menyusul. Namun untuk seorang bayi yang masih begitu panjang proses hidupnya, dalam ketidakpastian yang sama, rasanya tidak pantas kalau membisikkan kepadanya untuk pergi. Dan seandainya anda merasakan kebersamaan dengan Raphael, anda akan melihat seorang anak yang sehat dan lincah, di mata kecil itu saya melihat pancaran hidup, pancaran untuk suatu masa depan, sangat berbeda dengan mata ayah saya ketika beliau berpamitan untuk pergi.

Hidup adalah rahasia Tuhan, dan manusia tidak akan pernah tahu kapan sesuatu datang dan kapan sesuatu harus pergi. Hidup Raphael juga milik Tuhan, mungkin Tuhan ingin menyampaikan sesuatu melalui pengalaman hidupnya. Dia menjadi istimewa karena dipilih untuk membawa suatu “kelainan” dalam tubuhnya. Pernyataan seorang Ibu yang terkesan bodoh di mata manusia, namun ungkapan sederhana ini menjadi kuat karena terpancar dari suatu kepasrahan untuk suatu harapan, tanpa mempertanyakan kepada Sang Pencipta kenapa anak dia yang dipilih.

Beberapa hari yang lalu Raphael sekali lagi harus masuk ke kamar operasi. Ada harapan baru, Dokter tidak jadi mengangkat ginjal kirinya, mereka mengupayakan suatu solusi baru dengan membuang lapisan yang menyumbat pembuangan urine. Sehari sebelumnya saya sempat seharian bersama dengan dia, melihat dia tersenyum dan tertawa, melihat dia marah karena ASI di botol yang diberikan Ibunya belum membuat dia kenyang, serta melihat dia ketakutan dan menangis ketika tiga orang perawat berusaha memasukkan jarum infuse ke tangannya. Harapan baru ini seperti setitik embun di tengah pemanasan global yang tidak terbendung ini.

Setelah operasi, untuk sementara Raphael dipasang selang di penisnya agar urine bisa dikeluarkan dan tidak mengendap di dalam tubuh. Diharapkan apabila pembuangan urine tidak mengalami hambatan, penyembuhan ginjalnya bisa terbantu. Membayangkan apa saja yang dikerjakan oleh Dokter di tubuh mungil itu rasanya tidak bisa diterima oleh nalar. Ilmu kedokteran sudah berkembang sebegitu hebat. Dan menyedihkan sekali bahwa di dalam tubuh mungil itu ada sesuatu yang setiap saat dapat menghentikan detakan jantungnya.

Ya saya hanya manusia biasa, secara nalar dan logika, dengan kondisi seperti itu manusia dewasa pun mungkin sulit untuk bertahan. Tapi ada kekuatan super besar, yang akan melindungi Raphael, dan ada kasih yang mengiringi setiap hembusan nafasnya. Kekuatan dan kasih itu pula yang sudah mengajarkan kita mengenai harapan. Bocah kecil ini masih bisa tersenyum, masih merengek seperti biasa ketika ASI yang diberikan Ibunya tidak mencukupi, dan masih bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat diajak bercanda. Suatu saat mungkin dia akan jadi ahli bedah anak untuk menangani kasus serupa yang pernah dia alami, mungkin dia jadi seorang motivator ulung yang menjabarkan kekuatan harapan dan doa untuk terus bertahan hidup.

Hidup adalah anugerah terbesar yang kita miliki. Dan selama Tuhan memberikan kita waktu dan nafas, tidak ada hal lain yang menghalangi kita untuk tetap hidup dan menyayangi hidup. Raphael bisa bertahan, kita pun harus bertahan…….

There's always hope for Raphael