Selasa, 08 November 2011

Selalu ada harapan untuk Raphael

Raphael divonis menderita congenital hydronefrosis kidney + ureter sejak masih usia 8 bulan dalam kandungan. Saya tidak mengerti dengan jelas artinya, yang saya tahu adalah kedua ginjal Raphael tidak berfungsi secara normal. Bahkan Dokter pun bilang bahwa Raphael mungkin tidak bisa bertahan hidup cukup lama. Penyakit ini bisa dikategorikan penyakit langka dan belum ada kepastian untuk proses penyembuhannya. Sudah beberapa kali operasi dilakukan di Singapura dan Jakarta untuk memperbaiki kondisi ginjalnya, belum lagi pengobatan yang berulang kali harus dijalani untuk membantu Raphael bertahan. Tulisan ini dibuat bukan untuk mengupas dari sisi medis, karena saya bukan seorang dokter dan sama sekali tidak mengerti mengenai dunia medis, istilah-istilah medis yang sering kali terdengar pun terasa janggal buat saya. Tetapi melalui tulisan ini saya ingin berbagi mengenai harapan, mengenai kasih dan mengenai arti hidup yang saya dapat dari seorang anak bernama Raphael.

Saya baru mengenal Raphael, ketika malaikat kecil ini berusia sekitar 5 bulan. Ketika orang tuanya menceritakan bahwa si kecil memiliki kelainan ginjal, dan sudah menjalani operasi di Singapura. Waktu itu kulitnya masih agak kehitaman, meskipun tidak menunjukkan seorang bayi yang memiliki komplikasi penyakit dalam. Saat itu, bahkan untuk menggendongnya saja saya tidak berani, karena takut melukai bayi mungil ini. Bersama beberapa teman yang sering berkumpul untuk kegiatan rohani, yang bisa kami lakukan adalah berdoa agar Raphael diberikan kesembuhan dari penyakitnya dan orang tuanya diberikan kekuatan untuk tetap tegar mendampingi.

Seiring berjalannya waktu, saya pun semakin dekat dengan Raphael dan keluarganya. Keluarga muda yang mencoba bertahan dalam harapan untuk sebuah mujizat bagi si kecil. Kenapa saya bilang mujizat, karena setiap kali mendengar penjelasan dari Dokter, pikiran saya sebagai manusia selalu berkata, apakah bisa si kecil bertahan dengan kondisi seperti itu. Meskipun awam dengan dunia kedokteran, saya yakin semua orang pasti bisa membayangkan betapa kecil kemungkinan Raphael untuk bertahan. Ginjal bayi kecil itu tidak sesuai dengan ukuran semestinya karena mengalami pembengkakan, sehingga tidak bisa berfungsi normal, hanya di bawah 50%, dan kondisi itu ada di kedua ginjalnya, bukan salah satu. Bahkan ginjal sebelah kiri sudah dalam kondisi kritis yang kemungkinan harus diangkat.

Beberapa kali saya mendengar dia terserang bakteri dan harus dibawa ke Rumah Sakit. Dan saya sering mendengar bahwa si Ibu harus berangkat ke Singapura sendiri untuk pengobatan si kecil, sedangkan si ayah harus di Jakarta karena tanggung jawab pekerjaan dan menjaga putra pertama mereka yang berumur 5 tahun. Mereka bukan keluarga super kaya yang bisa dengan mudah membiayai pengobatan di negara tetangga yang tentunya tidak murah.

Pernah suatu kali saya menemani sang Ibu untuk berbicara dengan tetangga kami, seorang Dokter yang sedang mengambil spesialisasi penyakit dalam. Ibu muda ini begitu hafal dengan istilah-istilah kedokteran yang semuanya terasa asing di telinga saya. Dia sanggup menjawab pertanyaan si Dokter mengenai semua jenis antibiotic dan tindakan yang pernah dilakukan untuk Raphael. Hati saya ikut sedih, ketika wanita yang usianya jauh lebih muda dari saya ini, menanyakan berapa besar kemungkinan bayi kecilnya bertahan hidup. Saya melihat Dokter itu hanya tersenyum dan bilang dia tidak bisa memberikan jawaban berapa lama umur seseorang, karena itu kehendak dari Sang Pencipta. Ibu ini tidak menangis, dia hanya terdiam sebentar, dan beberapa saat kemudian pun dia sibuk lagi dengan segudang pertanyaan mengenai kemungkinan-kemungkinan untuk menyelamatkan si kecil. Suatu anugerah bahwa Raphael dilahirkan dari seorang Ibu yang kuat, seorang Ibu yang tetap bisa tertawa di tengah keterhimpitan masalah yang dihadapinya, seorang Ibu yang berani tetap berharap di saat semua ilmu kedokteran tidak mampu memberikan solusi yang tegas untuk masa depan buah hatinya.

Dua tahun lalu, ayah saya menderita penyakit kanker hati dan divonis tidak ada harapan oleh Dokter, dan kemudian diketahui bahwa kanker itu sudah menyebar ke paru dan organ lainnya. Saat itu saya mengalami depresi yang luar biasa. Di satu sisi saya tidak rela kehilangan ayah saya oleh penyakit apapun namanya, di sisi lain saya berpacu dengan dana yang terus mengalir untuk pengobatan yang tak tahu bermuara kemana. Bahkan beberapa keluarga sudah menyarankan saya untuk menghentikan pengobatan dan merelakan ayah saya “pergi”. Saya sangat menyayangi ayah saya, itu tidak perlu diragukan, dan saya ingin beliau ada di setiap saat bahagia saya, itu juga sudah pasti, namun di hati terdalam, saya sudah merelakan beliau pergi tanpa harus lebih lama tersiksa oleh penyakitnya. Dan setiap berada di samping beliau pada saat-saat terakhirnya, saya selalu berbisik bahwa beliau boleh pergi tanpa perlu mengkuatirkan saya ataupun anggota keluarga yang lain. Semasa hidup beliau selalu berharap bahwa beliau boleh meninggalkan dunia fana sebelum menjadi beban untuk anak istri beliau. Setelah 24 hari dirawat di rumah sakit, akhirnya beliau pergi meninggalkan kami, sesuai dengan harapannya. Kehilangan terbesar saya di awal tahun 2010, sosok pahlawan tak sempurna yang mengabdikan hidup untuk anak-anaknya. Ayah saya pergi setelah beliau merasa sudah menunaikan tugasnya, kepergian yang meninggalkan kenangan indah.

Berkaca pada tekanan yang saya rasakan ketika ayah saya sakit, saya melihat kekuatan luar biasa yang dipancarkan seorang Ibu muda untuk sebuah harapan. Waktu itu pun, semua orang termasuk saya, bisa dengan ringan mengatakan tugas ayah saya sudah selesai, silahkan berangkat lebih dahulu, nanti kita menyusul. Namun untuk seorang bayi yang masih begitu panjang proses hidupnya, dalam ketidakpastian yang sama, rasanya tidak pantas kalau membisikkan kepadanya untuk pergi. Dan seandainya anda merasakan kebersamaan dengan Raphael, anda akan melihat seorang anak yang sehat dan lincah, di mata kecil itu saya melihat pancaran hidup, pancaran untuk suatu masa depan, sangat berbeda dengan mata ayah saya ketika beliau berpamitan untuk pergi.

Hidup adalah rahasia Tuhan, dan manusia tidak akan pernah tahu kapan sesuatu datang dan kapan sesuatu harus pergi. Hidup Raphael juga milik Tuhan, mungkin Tuhan ingin menyampaikan sesuatu melalui pengalaman hidupnya. Dia menjadi istimewa karena dipilih untuk membawa suatu “kelainan” dalam tubuhnya. Pernyataan seorang Ibu yang terkesan bodoh di mata manusia, namun ungkapan sederhana ini menjadi kuat karena terpancar dari suatu kepasrahan untuk suatu harapan, tanpa mempertanyakan kepada Sang Pencipta kenapa anak dia yang dipilih.

Beberapa hari yang lalu Raphael sekali lagi harus masuk ke kamar operasi. Ada harapan baru, Dokter tidak jadi mengangkat ginjal kirinya, mereka mengupayakan suatu solusi baru dengan membuang lapisan yang menyumbat pembuangan urine. Sehari sebelumnya saya sempat seharian bersama dengan dia, melihat dia tersenyum dan tertawa, melihat dia marah karena ASI di botol yang diberikan Ibunya belum membuat dia kenyang, serta melihat dia ketakutan dan menangis ketika tiga orang perawat berusaha memasukkan jarum infuse ke tangannya. Harapan baru ini seperti setitik embun di tengah pemanasan global yang tidak terbendung ini.

Setelah operasi, untuk sementara Raphael dipasang selang di penisnya agar urine bisa dikeluarkan dan tidak mengendap di dalam tubuh. Diharapkan apabila pembuangan urine tidak mengalami hambatan, penyembuhan ginjalnya bisa terbantu. Membayangkan apa saja yang dikerjakan oleh Dokter di tubuh mungil itu rasanya tidak bisa diterima oleh nalar. Ilmu kedokteran sudah berkembang sebegitu hebat. Dan menyedihkan sekali bahwa di dalam tubuh mungil itu ada sesuatu yang setiap saat dapat menghentikan detakan jantungnya.

Ya saya hanya manusia biasa, secara nalar dan logika, dengan kondisi seperti itu manusia dewasa pun mungkin sulit untuk bertahan. Tapi ada kekuatan super besar, yang akan melindungi Raphael, dan ada kasih yang mengiringi setiap hembusan nafasnya. Kekuatan dan kasih itu pula yang sudah mengajarkan kita mengenai harapan. Bocah kecil ini masih bisa tersenyum, masih merengek seperti biasa ketika ASI yang diberikan Ibunya tidak mencukupi, dan masih bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat diajak bercanda. Suatu saat mungkin dia akan jadi ahli bedah anak untuk menangani kasus serupa yang pernah dia alami, mungkin dia jadi seorang motivator ulung yang menjabarkan kekuatan harapan dan doa untuk terus bertahan hidup.

Hidup adalah anugerah terbesar yang kita miliki. Dan selama Tuhan memberikan kita waktu dan nafas, tidak ada hal lain yang menghalangi kita untuk tetap hidup dan menyayangi hidup. Raphael bisa bertahan, kita pun harus bertahan…….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar